Title: Sayonara Crawl
Author: Tsu
Genre: Thriller, Family
Rate: T
Cast: half of 31st single’s senbatsu
Disclaimer:AKB48, their family, and of course
themselves.
Ch. 1 - Ch. 2
Chapter 2 –
Oshiri Sister
---
Mayu menaikkan telapak tangannya. Menghalau
sinar matahari yang lurus membasuh wajahnya. Tadi pagi sudah pakai sunblock belum ya? Mayu harus merawat
kulit biar sehat seperti Yuuko. Oh, Mayu sungguh mengagumi Yuuko. Yuuko yang
periang, yang kulitnya seceria wajahnya.
Memang enak mempunyai tempat tinggal di
Okinawa. Pinggir pantai pula. Mau main sama ombak sampai mabok, silakan. Mau
bikin istana pasir sampai mahir, boleh. Mau berjemur sambil makan rebus telur
juga boleh. Anggap saja sauna.
Hari ini Yuuko memakai two piece warna merah. Kontras dengan warna kulitnya yang lebih
cerah dari kapas. Mayu juga ingin mengenakan yang warna merah. Tapi Yuuko
menyarankan oranye saja. Biar balapan sama matahari, katanya. Apapun itu, Mayu
setuju. Karena Mayu sayang Yuuko. Sister
complex.
“Nee-chan...
mau es krim?” tawar Mayu sebelum dia beranjak pergi menuju kedai minuman
terdekat.
“Terserah kau saja,” ujar Yuuko. Berbaring di
atas pasir beralaskan handuk.
Mayu berlalu sambil mengacungkan jempol.
“Dia selalu bersemangat. Aku jadi ingin punya
adik,” seorang gadis yang berbaring juga di samping Yuuko berkomentar. Mulutnya
sibuk mengunyah permen karet.
“Aku bersedia membaginya denganmu,” kelakar
Yuuko.
“Permen karet saja tak boleh dibagi.”
“Adikku bukan permen karet. Permen karet itu
adikmu.”
“Mana ada adik yang harus kubeli dulu di
minimarket.”
“Tomochin!” Yuuko tergelak. Tapi gadis di
sampingnya—yang dipanggil “Tomochin”—tetap fokus dengan kunyahan demi kunyahan
yang berproduksi di mulutnya.
“Bagaimana kabar Shinji?” tanya Tomochin
berbasa-basi.
“Dia tetap lelaki paling tampan di lantai
dua; lelaki paling lucu di lantai dua; dan lelaki paling jantan di lantai dua.”
“Kau terlalu berlebihan, Yuuko.”
Mayu kembali. Dengan dua cone es krim di tangan. Mendapati kakaknya sedang asyik bergurau
dengan penghuni apartemen sebelah.
“Ini dia.” Mayu menyerahkan satu ke tangan
Yuuko. “Tidak ada untukmu,” ujarnya tegas pada Tomochin.
“Lagipula aku tidak mau,” elak Tomochin.
Mayu mengambil tempat di samping Yuuko.
Menonton ombak berdebur diiringi liukan para peselancar. Hingga berseru “oshiri!” ketika para gadis lewat di
depan mereka.
“Yang itu lebih besar dari melon!” seru Yuuko
mengomentari salah satu pantat milik gadis yang lewat.
“Di sebelahnya mirip jeruk. Kecil tapi nampak
kenyal,” timpal Mayu menyipitkan matanya.
“Lihat! Lihat yang sebelah pinggir! Hampir
mirip dengan semangka kecil yang dijual di toko Paman Takashi.”
“Ahahaha, kau benar, Nee-chan!”
“Hihihi. Oshiri!”
seru Yuuko. Kedua tangannya ia buka dan membentuk pantat.
“Oshiri!”
Mayu mengikuti apa yang dilakukan Yuuko. Keduanya tertawa hebat.
Tomochin geleng-geleng kepala sambil
kunyah-kunyah permen karet.
.
.
.
Angin sore musim panas masih terasa cukup membakar.
Membelai tungkai kaki Mayu yang sedang berjalan menyusuri pantai. Telapak
kakinya membelah pasir, tersapu ombak. Keringat dan air mata yang tadi
membasahi wajahnya kering sudah dijamah sang bayu. Tongkat bisbol besi yang
telah ia cuci diseretnya ikut membelah pasir, tersapu ombak. Sebentar lagi
malam. Ia harus sudah sampai di kamar Yuuko, di rumah sakit. Ia tak mau membuat
kakaknya khawatir mencarinya karena ia tak ada di samping ranjang, menunggui
seseorang yang tak sadarkan diri.
Mayu hampir tiba di pantai yang ramai.
Disambut seorang gadis yang sedang mengunyah permen karet.
“Mau semangka?” tawar Mayu.
“Aku sedang makan permen karet rasa
semangka,” timpal Tomochin.
“Sayang sekali. Padahal aku sudah membelahnya
untukmu,” gerutu Mayu dengan nada kecewa, “Tongkat ini bagus. Sekali pukul
langsung pecah semangkanya.”
Tomochin mengernyitkan kening. Mulutnya
terbuka lebar. Kalau permen karetnya punya kaki sudah lompatlah ia ke atas
hamparan pasir.
“Jangan bilang...”
“Sudah aku lemparkan ke laut.” Dingin. Air
muka Mayu lebih dingin dari udara dini hari.
Tomochin memutar bola matanya. Kembali
bersikap acuh tak acuh. Kembali mengunyah permen karet yang batal melompat ke
atas pasir. “Aku tak tahu kalau kau serius soal memberinya pelajaran,” ia
menyeret kakinya menuju pantai yang ramai.
“Aku tak pernah main-main jika itu menyangkut
kakakku,” Mayu mengekor sambil menyeret tongkat bisbol. “Terimakasih, sudah
membantuku.”
Tomochin mengangguk pelan. Pikirannya masih
berputar-putar. Baru saja telah terjadi pembunuhan. Dan ia terlibat di
dalamnya. Mayu sudah kehilangan akal warasnya. Gila! Lebih dari gila. Ia
sangka, yang diutarakan oleh Mayu soal memberi Haruna pelajaran itu hanya
memukulinya sampai puas. Berapa kalipun. Sampai kemarahannya menguap dan hilang.
Tapi ia salah besar. Mayu hanya memukul Haruna sekali. Sekaligus merenggut
nyawa gadis rambut panjang itu.
---
Sekuntum bunga lili putih sengaja dipajang
Mayu di atas meja di samping ranjang Yuuko. Betapa bunga yang anggun dan suci,
terlepas dari bunga tersebut adalah simbol kematian. Mayu meraih telapak tangan
Yuuko. Menciumnya. Memeluknya penuh kasih.
“Aku sudah melenyapkan ‘kebencian’. Sekarang
apa lagi yang harus aku basmi dari dunia ini?” bisiknya.
Yuuko bergeming. Hanya suara mesin dan tampilan
detak jantung yang bisa Mayu lihat.
“Aku telah memberikan satu nyawa untuk
menghalangi kematianmu. Bangunlah, Nee-chan!”
pinta Mayu.
“Apakah tidak cukup? Berapa nyawa lagi yang
kau perlukan? Tuhan, berapa nyawa lagi yang harus aku tukar demi kesembuhan
kakakku?”
Tomochin mengawasi dari pintu. “Masih belum
puas?” tebaknya. Mulutnya bergoyang-goyang mengunyah permen karet.
Mayu menoleh, “Nee-chin!” serunya. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa kakakku
tidak bergerak? Kenapa matanya belum terbuka?”
Tomochin menghela nafas. Kasihan Mayu. Gadis
itu tak pernah tersenyum sejak Yuuko kehilangan senyumnya.Apa yang harus Tomo
lakukan sekarang? Masuk ke dalam permainan Mayu dan memburu orang-orang yang
mempunyai masalah dengan Yuuko? Membunuh mereka?
Sepersekian menit kemudian, Mayu mendekat.
Menggenggam pergelangan tangan Tomochin kuat-kuat, “Beritahu aku, siapa
selanjutnya?”
“Tidak. Aku tak mau terlibat lebih jauh
lagi.” Cukup tragedi yang menimpa Haruna saja.
“Nee-chin,
onegai!” Mayu tak putus asa meminta.
“Aku sudah membius Haruna. Aku sudah
membawanya ke tempat bekas pos jaga pantai. Aku sudah cukup,” terang Tomochin.
Tegas menghempaskan genggaman tangan Mayu.
Menyerah. Beringsut. Kembali memeluk tangan
Yuuko. Mayu bersenandung. Ia akan melakukannya walaupun sendirian. Tak bisa ia
membiarkan orang-orang yang pernah menyakiti kakaknya hidup penuh tawa
sementara kakaknya menderita menanti ajal.
.
.
.
Setiap Sabtu sore, Shinji tak pernah absen
mengajak Yuuko pergi ke lapangan sepak bola yang berada di samping kantor.
Menonton pertandingan di sana atau sekedar melihat-lihat tim kebanggaan kota
itu berlatih. Yuuko tak mengerti. Kenapa ia mau saja. Tentu karena Yuuko sangat
menyukainya, lelaki lantai dua itu. Setiap sore berharap lelaki itu akan
mengutarakan perasaannya, mengajaknya menjadi pasangannya. Tapi setiap sore
pula berlalu tanpa hal itu terjadi.
Masa bodoh. Sekarang semua orang tahu kalau
di sana ada Shinji, maka di sana pula ada Yuuko. Mereka berdua telah lebih erat
bak ditempel lem super. Siapa yang peduli tentang status mereka? Yang penting
mereka bersama-sama.
Suatu sore ketika mereka sedang duduk berdua
di kursi penonton, datanglah seorang gadis menghampiri.
“Setiap sore aku selalu melihat kalian di
sini,” ujarnya.
“Setiap sore kami selalu ke sini,” Shinji
menjelaskan.
Yuuko tak suka Shinji berbicara dengan
perempuan lain. Yuuko tak suka Shinji tersenyum pada perempuan lain. Shinji
akan segera menjadi miliknya. Tak boleh ada seseorang pun menghalangi jalan
itu.
Beberapa sore berikutnya, gadis itu sudah
akrab dengan Shinji dan Yuuko. Duduk bersama menonton lapangan. Sudut mata
Yuuko selalu awas memperhatikan mereka berdua. Tak boleh ada tindakan yang tak
diinginkan. Gadis itu sudah terlalu dekat dengan Shinji. Yuuko tak berniat
beramah-tamah dengannya. Ia sudah kapok membuka hubungan pertemanan dengan
perempuan setelah Haruna meninggalkannya.
Mimpi buruk datang ketika satu sore Yuuko tak
bisa menemani Shinji pergi ke lapangan. Ada pekerjaan yang mau tak mau harus ia
lemburkan. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Shinji dengan perempuan di
lapangan itu. Pekerjaan pun tak mampu ia selesaikan karena memikirkan hal itu.
Yang ia inginkan sekarang adalah berlari ke lapangan bola. Memastikan tak
terjadi apa-apa, tak terjadi suatu hal yang tak diinginkan.
Sore berikutnya mereka bertiga kembali
bertemu di lapangan.
“Aku mau beli minuman kaleng. Watashima-san, kau mau apa?” tanya Shinji seraya
bangkit dari duduknya.
“Susu teh hijau,” jawab Yuuko dengan
senyumnya yang paling manis.
“Oke. Yuki-chan, kau mau apa?” Shinji bertanya pada gadis di sebelah Yuuko.
Eeeh. Mata Yuuko membelalak. Shinji memanggil
nama kecil perempuan itu? Apa yang telah terjadi dalam satu sore kemarin? Yuuko
dekat dengan Shinji sudah lebih dari dua bulan, tapi hingga sekarang tak pernah
sekalipun Shinji memanggil nama kecilnya. Tapi, tapi perempuan ini... apa yang
dia lakukan hingga Shinji dekat sekali dengannya? Apa yang aku lewatkan satu
hari kemarin?!
Hanya tinggal menunggu waktu sampai Shinji
benar-benar menjadi lengket dengan Yuki. Yuuko benar-benar tertohok. Seharusnya
Shinji sudah menjadi kekasihnya. Tapi karena kehadiran Yuki, semuanya tak
berjalan sesuai rencana.
“Ada orang yang kusukai,” siang itu, di
kafetaria, Shinji membuka percakapan.
Muka Yuuko seketika memerah. Tersipu. Pasti
inilah saat yang ia tunggu-tunggu. “Benarkah?”
Shinji mengangguk. Menatap Yuuko dalam-dalam.
“Dia... seorang manajer.”
Aha! Apa lagi yang kau tunggu, Shinji?
Segeralah ungkapkan perasaanmu pada manajer yang ada di depanmu.
Yuuko menunggu dalam cemas. Semua aktivitas
di kafetaria rasanya berhenti. Semua terdiam kecuali detak jantung Yuuko yang
semakin cepat.
“Watashima-san, aku menyukai Yuki...”
Dahsyat. Lebih hebat dari meteor. Yuuko
termangu di tempat duduknya. Melihat wajah Shinji yang memerah. Bukan karena
dirinya. Bukan tersipu karenanya. Oh, Yuuko lupa. Yuki itu juga manajer.
Manajer tim sepak bola.
“Kau mau membantuku? Sore nanti. Aku akan
berbicara padanya.”
.
.
.
“Yuki Kashiwagi namanya,” Tomochin mengambil
selembar permen karet rasa semangka dan memasukkannya ke mulut.
“Roger.”
Tomo menatap Mayu, meminta penjelasan, “Apa
yang akan kau lakukan?”
Mayu balik menatap Tomo, “Tentu saja memindahkan rasa sakit kakakku.”
“Jangan bertindak terlalu jauh!” Tomo
berusaha mencegah.
“Aku tidak minta bantuanmu lagi, Nee-chin. Aku akan mengerjakannya sendirian.”
Betapa teguhnya tekad gadis itu. Melakukan hal yang sia-sia, yang tak akan
sedikitpun mengubah Yuuko. Hanya akan memperburuk keadaan.
“Aku tidak ikut-ikutan,” Tomo mengacungkan
kedua tangannya.
“Aku tidak peduli.”
---
Lapangan sepak bola yang menyerupai stadion
kecil itu sudah lengang. Pukul delapan lebih tiga puluh satu menit malam itu.
Latihan baru saja berakhir. Yuki Kashiwagi, sang manajer, masih membereskan
peralatan. Malam ini ia harus pulang sendiri. Kekasihnya, Shinji Kitagawa tak
bisa datang menjemput karena ada urusan pekerjaan.
Yuki berdiri hendak pergi. Seorang gadis
datang menyeret tongkat bisbol dan membawa kantong besar berisi semangka. Yuki
menatapnya ingin tahu.
“Aa, kukira ini lapangan bisbol,” ucap Mayu.
Bertingkah seolah ia anggota tim bisbol sekolah yang hendak merayakan
kemenangan timnya dengan makan semangka.
“Kau berasal dari mana? Seingatku di sekitar
sini tak ada lapangan bisbol,” Yuki bertanya dengan ramah.
“Umm, tidak. Aku memang jarang keluar rumah,”
ujar Mayu. Menyimpan kantong besar yang ia bawa dan mengeluarkan isinya. “Mau
semangka?”
“Eh, ah, tidak, terima kasih. Aku harus
segera pulang,” di tengah rasa bingungnya, Yuki bergegas pergi. Sepertinya anak
di hadapannya itu agak terganggu mentalnya.
“Tunggu, Kashiwagi-san!” seru Mayu. Mencegah Yuki untuk pergi.
Yuki berbalik dengan kening berkerut. “Kau...
tahu namaku?”
“Aku mengetahui namamu. Aku tahu kau tak
mengetahui namaku.”
Digiring rasa penasarannya, Yuki kembali.
Mungkin saja dengan kebesaran hatinya, anak gadis ini mau pulang. Ia akan bantu
membawakan dua buah semangka besar yang kini tergeletak di atas rerumputan
lapangan sepak bola.
“Namaku Mayu Watashima,” dengan senyum, gadis
itu memperkenalkan diri. Senyum palsu, tentu saja.
Wa-Watashima? Rasanya pernah dengar nama itu,
Yuki berpikir.
“Tidak mungkin kau melupakan wanita yang
selalu bersama lelaki yang sekarang menjadi kekasihmu. Wanita yang selalu duduk
mesra dengan lelaki yang sekarang menjadi kekasihmu di bangku penonton. Wanita
yang senyumnya perlahan hilang setelah kau masuk ke dalam lingkaran mereka
berdua. Wanita yang mati-matian menahan perasaan ketika lelaki yang ia sukai
ternyata lebih memilih wanita yang baru ia temui,” mata jenaka Mayu menghakimi
Yuki.
Yuki jatuh terduduk. Pantatnya menghempas
lapangan hijau. “Kau salah. Aku tidak seperti itu—merenggut Shinji dari
Watashima.”
“Tentu saja kau telah melakukannya.”
Yuki berusaha berdiri, hendak berlari. Tapi
Mayu terlanjur menginjak perutnya. Menekan ujung tongkat bisbol ke dadanya. Sesak.
Sekarang Mayu menduduki perutnya. Menonjok
hidung Yuki hingga darah meluncur.
Yuki terdiam. Tak bisa melawan.
Pingsan.
To be next
chapter
No comments:
Post a Comment