Thursday, May 16, 2013

Sayonara Crawl (an AKB48 fanfic) - Chapter 2 "Oshiri Sister"


Title: Sayonara Crawl
Author: Tsu
Genre: Thriller, Family
Rate: T
Cast: half of 31st single’s senbatsu
Disclaimer:AKB48, their family, and of course themselves.



Ch. 1 - Ch. 2

Chapter 2 – Oshiri Sister
---

Mayu menaikkan telapak tangannya. Menghalau sinar matahari yang lurus membasuh wajahnya. Tadi pagi sudah pakai sunblock belum ya? Mayu harus merawat kulit biar sehat seperti Yuuko. Oh, Mayu sungguh mengagumi Yuuko. Yuuko yang periang, yang kulitnya seceria wajahnya.

Memang enak mempunyai tempat tinggal di Okinawa. Pinggir pantai pula. Mau main sama ombak sampai mabok, silakan. Mau bikin istana pasir sampai mahir, boleh. Mau berjemur sambil makan rebus telur juga boleh. Anggap saja sauna.

Hari ini Yuuko memakai two piece warna merah. Kontras dengan warna kulitnya yang lebih cerah dari kapas. Mayu juga ingin mengenakan yang warna merah. Tapi Yuuko menyarankan oranye saja. Biar balapan sama matahari, katanya. Apapun itu, Mayu setuju. Karena Mayu sayang Yuuko. Sister complex.

Nee-chan... mau es krim?” tawar Mayu sebelum dia beranjak pergi menuju kedai minuman terdekat.

“Terserah kau saja,” ujar Yuuko. Berbaring di atas pasir beralaskan handuk.

Mayu berlalu sambil mengacungkan jempol.

“Dia selalu bersemangat. Aku jadi ingin punya adik,” seorang gadis yang berbaring juga di samping Yuuko berkomentar. Mulutnya sibuk mengunyah permen karet.

“Aku bersedia membaginya denganmu,” kelakar Yuuko.

“Permen karet saja tak boleh dibagi.”

“Adikku bukan permen karet. Permen karet itu adikmu.”

“Mana ada adik yang harus kubeli dulu di minimarket.”

“Tomochin!” Yuuko tergelak. Tapi gadis di sampingnya—yang dipanggil “Tomochin”—tetap fokus dengan kunyahan demi kunyahan yang berproduksi di mulutnya.

“Bagaimana kabar Shinji?” tanya Tomochin berbasa-basi.

“Dia tetap lelaki paling tampan di lantai dua; lelaki paling lucu di lantai dua; dan lelaki paling jantan di lantai dua.”

“Kau terlalu berlebihan, Yuuko.”

Mayu kembali. Dengan dua cone es krim di tangan. Mendapati kakaknya sedang asyik bergurau dengan penghuni apartemen sebelah.

“Ini dia.” Mayu menyerahkan satu ke tangan Yuuko. “Tidak ada untukmu,” ujarnya tegas pada Tomochin.

“Lagipula aku tidak mau,” elak Tomochin.

Mayu mengambil tempat di samping Yuuko. Menonton ombak berdebur diiringi liukan para peselancar. Hingga berseru “oshiri!” ketika para gadis lewat di depan mereka.

“Yang itu lebih besar dari melon!” seru Yuuko mengomentari salah satu pantat milik gadis yang lewat.

“Di sebelahnya mirip jeruk. Kecil tapi nampak kenyal,” timpal Mayu menyipitkan matanya.

“Lihat! Lihat yang sebelah pinggir! Hampir mirip dengan semangka kecil yang dijual di toko Paman Takashi.”

“Ahahaha, kau benar, Nee-chan!”

“Hihihi. Oshiri!” seru Yuuko. Kedua tangannya ia buka dan membentuk pantat.

Oshiri!” Mayu mengikuti apa yang dilakukan Yuuko. Keduanya tertawa hebat.

Tomochin geleng-geleng kepala sambil kunyah-kunyah permen karet.
.
.
.

Angin sore musim panas masih terasa cukup membakar. Membelai tungkai kaki Mayu yang sedang berjalan menyusuri pantai. Telapak kakinya membelah pasir, tersapu ombak. Keringat dan air mata yang tadi membasahi wajahnya kering sudah dijamah sang bayu. Tongkat bisbol besi yang telah ia cuci diseretnya ikut membelah pasir, tersapu ombak. Sebentar lagi malam. Ia harus sudah sampai di kamar Yuuko, di rumah sakit. Ia tak mau membuat kakaknya khawatir mencarinya karena ia tak ada di samping ranjang, menunggui seseorang yang tak sadarkan diri.

Mayu hampir tiba di pantai yang ramai. Disambut seorang gadis yang sedang mengunyah permen karet.

“Mau semangka?” tawar Mayu.

“Aku sedang makan permen karet rasa semangka,” timpal Tomochin.

“Sayang sekali. Padahal aku sudah membelahnya untukmu,” gerutu Mayu dengan nada kecewa, “Tongkat ini bagus. Sekali pukul langsung pecah semangkanya.”

Tomochin mengernyitkan kening. Mulutnya terbuka lebar. Kalau permen karetnya punya kaki sudah lompatlah ia ke atas hamparan pasir.

“Jangan bilang...”

“Sudah aku lemparkan ke laut.” Dingin. Air muka Mayu lebih dingin dari udara dini hari.

Tomochin memutar bola matanya. Kembali bersikap acuh tak acuh. Kembali mengunyah permen karet yang batal melompat ke atas pasir. “Aku tak tahu kalau kau serius soal memberinya pelajaran,” ia menyeret kakinya menuju pantai yang ramai.

“Aku tak pernah main-main jika itu menyangkut kakakku,” Mayu mengekor sambil menyeret tongkat bisbol. “Terimakasih, sudah membantuku.”

Tomochin mengangguk pelan. Pikirannya masih berputar-putar. Baru saja telah terjadi pembunuhan. Dan ia terlibat di dalamnya. Mayu sudah kehilangan akal warasnya. Gila! Lebih dari gila. Ia sangka, yang diutarakan oleh Mayu soal memberi Haruna pelajaran itu hanya memukulinya sampai puas. Berapa kalipun. Sampai kemarahannya menguap dan hilang. Tapi ia salah besar. Mayu hanya memukul Haruna sekali. Sekaligus merenggut nyawa gadis rambut panjang itu.

---

Sekuntum bunga lili putih sengaja dipajang Mayu di atas meja di samping ranjang Yuuko. Betapa bunga yang anggun dan suci, terlepas dari bunga tersebut adalah simbol kematian. Mayu meraih telapak tangan Yuuko. Menciumnya. Memeluknya penuh kasih.

“Aku sudah melenyapkan ‘kebencian’. Sekarang apa lagi yang harus aku basmi dari dunia ini?” bisiknya.

Yuuko bergeming. Hanya suara mesin dan tampilan detak jantung yang bisa Mayu lihat.

“Aku telah memberikan satu nyawa untuk menghalangi kematianmu. Bangunlah, Nee-chan!” pinta Mayu.

“Apakah tidak cukup? Berapa nyawa lagi yang kau perlukan? Tuhan, berapa nyawa lagi yang harus aku tukar demi kesembuhan kakakku?”

Tomochin mengawasi dari pintu. “Masih belum puas?” tebaknya. Mulutnya bergoyang-goyang mengunyah permen karet.

Mayu menoleh, “Nee-chin!” serunya. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa kakakku tidak bergerak? Kenapa matanya belum terbuka?”

Tomochin menghela nafas. Kasihan Mayu. Gadis itu tak pernah tersenyum sejak Yuuko kehilangan senyumnya.Apa yang harus Tomo lakukan sekarang? Masuk ke dalam permainan Mayu dan memburu orang-orang yang mempunyai masalah dengan Yuuko? Membunuh mereka?

Sepersekian menit kemudian, Mayu mendekat. Menggenggam pergelangan tangan Tomochin kuat-kuat, “Beritahu aku, siapa selanjutnya?”

“Tidak. Aku tak mau terlibat lebih jauh lagi.” Cukup tragedi yang menimpa Haruna saja.

Nee-chin, onegai!” Mayu tak putus asa meminta.

“Aku sudah membius Haruna. Aku sudah membawanya ke tempat bekas pos jaga pantai. Aku sudah cukup,” terang Tomochin. Tegas menghempaskan genggaman tangan Mayu.

Menyerah. Beringsut. Kembali memeluk tangan Yuuko. Mayu bersenandung. Ia akan melakukannya walaupun sendirian. Tak bisa ia membiarkan orang-orang yang pernah menyakiti kakaknya hidup penuh tawa sementara kakaknya menderita menanti ajal.
.
.
.

Setiap Sabtu sore, Shinji tak pernah absen mengajak Yuuko pergi ke lapangan sepak bola yang berada di samping kantor. Menonton pertandingan di sana atau sekedar melihat-lihat tim kebanggaan kota itu berlatih. Yuuko tak mengerti. Kenapa ia mau saja. Tentu karena Yuuko sangat menyukainya, lelaki lantai dua itu. Setiap sore berharap lelaki itu akan mengutarakan perasaannya, mengajaknya menjadi pasangannya. Tapi setiap sore pula berlalu tanpa hal itu terjadi.

Masa bodoh. Sekarang semua orang tahu kalau di sana ada Shinji, maka di sana pula ada Yuuko. Mereka berdua telah lebih erat bak ditempel lem super. Siapa yang peduli tentang status mereka? Yang penting mereka bersama-sama.

Suatu sore ketika mereka sedang duduk berdua di kursi penonton, datanglah seorang gadis menghampiri.

“Setiap sore aku selalu melihat kalian di sini,” ujarnya.

“Setiap sore kami selalu ke sini,” Shinji menjelaskan.

Yuuko tak suka Shinji berbicara dengan perempuan lain. Yuuko tak suka Shinji tersenyum pada perempuan lain. Shinji akan segera menjadi miliknya. Tak boleh ada seseorang pun menghalangi jalan itu.

Beberapa sore berikutnya, gadis itu sudah akrab dengan Shinji dan Yuuko. Duduk bersama menonton lapangan. Sudut mata Yuuko selalu awas memperhatikan mereka berdua. Tak boleh ada tindakan yang tak diinginkan. Gadis itu sudah terlalu dekat dengan Shinji. Yuuko tak berniat beramah-tamah dengannya. Ia sudah kapok membuka hubungan pertemanan dengan perempuan setelah Haruna meninggalkannya.

Mimpi buruk datang ketika satu sore Yuuko tak bisa menemani Shinji pergi ke lapangan. Ada pekerjaan yang mau tak mau harus ia lemburkan. Bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Shinji dengan perempuan di lapangan itu. Pekerjaan pun tak mampu ia selesaikan karena memikirkan hal itu. Yang ia inginkan sekarang adalah berlari ke lapangan bola. Memastikan tak terjadi apa-apa, tak terjadi suatu hal yang tak diinginkan.

Sore berikutnya mereka bertiga kembali bertemu di lapangan.

“Aku mau beli minuman kaleng. Watashima-san, kau mau apa?” tanya Shinji seraya bangkit dari duduknya.

“Susu teh hijau,” jawab Yuuko dengan senyumnya yang paling manis.

“Oke. Yuki-chan, kau mau apa?” Shinji bertanya pada gadis di sebelah Yuuko.

Eeeh. Mata Yuuko membelalak. Shinji memanggil nama kecil perempuan itu? Apa yang telah terjadi dalam satu sore kemarin? Yuuko dekat dengan Shinji sudah lebih dari dua bulan, tapi hingga sekarang tak pernah sekalipun Shinji memanggil nama kecilnya. Tapi, tapi perempuan ini... apa yang dia lakukan hingga Shinji dekat sekali dengannya? Apa yang aku lewatkan satu hari kemarin?!

Hanya tinggal menunggu waktu sampai Shinji benar-benar menjadi lengket dengan Yuki. Yuuko benar-benar tertohok. Seharusnya Shinji sudah menjadi kekasihnya. Tapi karena kehadiran Yuki, semuanya tak berjalan sesuai rencana.

“Ada orang yang kusukai,” siang itu, di kafetaria, Shinji membuka percakapan.

Muka Yuuko seketika memerah. Tersipu. Pasti inilah saat yang ia tunggu-tunggu. “Benarkah?”

Shinji mengangguk. Menatap Yuuko dalam-dalam. “Dia... seorang manajer.”

Aha! Apa lagi yang kau tunggu, Shinji? Segeralah ungkapkan perasaanmu pada manajer yang ada di depanmu.

Yuuko menunggu dalam cemas. Semua aktivitas di kafetaria rasanya berhenti. Semua terdiam kecuali detak jantung Yuuko yang semakin cepat.

“Watashima-san, aku menyukai Yuki...”

Dahsyat. Lebih hebat dari meteor. Yuuko termangu di tempat duduknya. Melihat wajah Shinji yang memerah. Bukan karena dirinya. Bukan tersipu karenanya. Oh, Yuuko lupa. Yuki itu juga manajer. Manajer tim sepak bola.

“Kau mau membantuku? Sore nanti. Aku akan berbicara padanya.”
.
.
.

“Yuki Kashiwagi namanya,” Tomochin mengambil selembar permen karet rasa semangka dan memasukkannya ke mulut.

Roger.”

Tomo menatap Mayu, meminta penjelasan, “Apa yang akan kau lakukan?”

Mayu balik menatap Tomo,  “Tentu saja memindahkan rasa sakit kakakku.”

“Jangan bertindak terlalu jauh!” Tomo berusaha mencegah.

“Aku tidak minta bantuanmu lagi, Nee-chin. Aku akan mengerjakannya sendirian.” Betapa teguhnya tekad gadis itu. Melakukan hal yang sia-sia, yang tak akan sedikitpun mengubah Yuuko. Hanya akan memperburuk keadaan.

“Aku tidak ikut-ikutan,” Tomo mengacungkan kedua tangannya.

“Aku tidak peduli.”

---

Lapangan sepak bola yang menyerupai stadion kecil itu sudah lengang. Pukul delapan lebih tiga puluh satu menit malam itu. Latihan baru saja berakhir. Yuki Kashiwagi, sang manajer, masih membereskan peralatan. Malam ini ia harus pulang sendiri. Kekasihnya, Shinji Kitagawa tak bisa datang menjemput karena ada urusan pekerjaan.

Yuki berdiri hendak pergi. Seorang gadis datang menyeret tongkat bisbol dan membawa kantong besar berisi semangka. Yuki menatapnya ingin tahu.

“Aa, kukira ini lapangan bisbol,” ucap Mayu. Bertingkah seolah ia anggota tim bisbol sekolah yang hendak merayakan kemenangan timnya dengan makan semangka.

“Kau berasal dari mana? Seingatku di sekitar sini tak ada lapangan bisbol,” Yuki bertanya dengan ramah.

“Umm, tidak. Aku memang jarang keluar rumah,” ujar Mayu. Menyimpan kantong besar yang ia bawa dan mengeluarkan isinya. “Mau semangka?”

“Eh, ah, tidak, terima kasih. Aku harus segera pulang,” di tengah rasa bingungnya, Yuki bergegas pergi. Sepertinya anak di hadapannya itu agak terganggu mentalnya.

“Tunggu, Kashiwagi-san!” seru Mayu. Mencegah Yuki untuk pergi.

Yuki berbalik dengan kening berkerut. “Kau... tahu namaku?”

“Aku mengetahui namamu. Aku tahu kau tak mengetahui namaku.”

Digiring rasa penasarannya, Yuki kembali. Mungkin saja dengan kebesaran hatinya, anak gadis ini mau pulang. Ia akan bantu membawakan dua buah semangka besar yang kini tergeletak di atas rerumputan lapangan sepak bola.

“Namaku Mayu Watashima,” dengan senyum, gadis itu memperkenalkan diri. Senyum palsu, tentu saja.

Wa-Watashima? Rasanya pernah dengar nama itu, Yuki berpikir.

“Tidak mungkin kau melupakan wanita yang selalu bersama lelaki yang sekarang menjadi kekasihmu. Wanita yang selalu duduk mesra dengan lelaki yang sekarang menjadi kekasihmu di bangku penonton. Wanita yang senyumnya perlahan hilang setelah kau masuk ke dalam lingkaran mereka berdua. Wanita yang mati-matian menahan perasaan ketika lelaki yang ia sukai ternyata lebih memilih wanita yang baru ia temui,” mata jenaka Mayu menghakimi Yuki.

Yuki jatuh terduduk. Pantatnya menghempas lapangan hijau. “Kau salah. Aku tidak seperti itu—merenggut Shinji dari Watashima.”

“Tentu saja kau telah melakukannya.”

Yuki berusaha berdiri, hendak berlari. Tapi Mayu terlanjur menginjak perutnya. Menekan ujung tongkat bisbol ke dadanya. Sesak.

Sekarang Mayu menduduki perutnya. Menonjok hidung Yuki hingga darah meluncur.

Yuki terdiam. Tak bisa melawan.

Pingsan.

To be next chapter

No comments:

Post a Comment