Thursday, May 9, 2013

Sayonara Crawl (an AKB48 fanfic) - Chapter 1 "Hatred"



Title: Sayonara Crawl
Author: Tsu
Genre: Thriller, Family
Rate: T
Cast: half of 31st single’s senbatsu
Disclaimer: AKB48, their family, and of course themselves.

[Trims, Heeshin, ini keren banget!]
Ch. 1 - Ch. 2
---
Chapter 1 – Hatred
---
Tiga puluh satu menit yang lalu, gadis bersurai panjang itu masih sibuk melayani pembeli di kafe. Di bibir pantai Okinawa yang ramai dikunjungi setiap musim panas datang. Tiga puluh satu menit setelahnya ia hanya bisa pasrah terbaring. Merasakan dingin dan lembabnya lantai kayu sebuah rumah yang nampak tak terawat. Rambut panjangnya nan indah kini tak ubah layaknya untaian benang kusut tak berguna. Terkoyak dan terpecah tak punya rupa.

“Sa-Sakit...” ia menggumam. Berharap setidaknya ada sepotong telinga yang mendengar.

Segaris cahaya matahari menyusup melalui celah kayu. Menyampaikan waktu yang tak bisa diketahui si gadis bersurai panjang yang kini tak bisa bergerak bebas oleh sebab simpul temali yang begitu kuat telah mengungkung tubuhnya. Masih siang, pikir gadis itu di tengah kekalutan dan ketakutan.

Siapakah yang tega menculiknya? Diakah lelaki yang setiap hari mengganggunya di kafe? Lelaki yang genit menepuk bokongnya itu? Atau lelaki yang hanya duduk diam sambil menyesap espresso dingin di sudut kafe? Diakah lelaki yang menyukai lemonade tanpa gula dan suka merayu sang pelayan kafe? Entahlah. Apapun yang mereka inginkan, asal jangan nyawa.

Gadis itu berguling. Berharap dengan begitu ikatan di tubuhnya akan melonggar dan lepas. Tapi si penculik tak sebodoh yang ia kira. Simpul itu tetap terpasang kuat seberapa gigih si gadis berguling mencoba. Hingga ia lelah sendiri.

Kalau tidak salah yang ditemuinya terakhir tadi adalah Tomochin, temannya semasa sekolah beberapa tahun silam. Tapi ia tidak ingat apapun setelah itu. Mungkin Tomo mencekokinya obat lupa. Entahlah.

Matanya yang sembab berair menyisir isi ruangan. Hampir kosong. Hanya kursi tua yang reot. Dan satu buah semangka yang ukurannya lebih besar dari kepala.

Pintu kayu lapuk berderit cengeng. Gadis itu memutar kepala mencari tahu siapa yang datang. Gesekan benda tumpul dan lantai kayu berdebur seru.

“To-Tolong...” pinta gadis itu memelas.

“Hm.” Adalah seorang perempuan dengan rambut ikat dua. Membawa tongkat bisbol di tangan kanannya. Senyum meretas di antara tajamnya garis wajah.

Gadis berambut panjang terpaku. Siapa perempuan yang baru datang ini? Sama sekali tidak ia kenal. Sekuat apapun berusaha mencari informasi dalam riuhnya brankas penyimpanan di jaringan otak, tetap tak ia temukan data mengenai perempuan dengan tongkat bisbol melukis permukaan lantai berdebu.

“Tolong lepaskan ikatan ini.” Masa bodoh dengan siapa gerangan gadis itu. Yang pasti ia hanya ingin segera terbebas dari kungkungan temali yang melilit tubuhnya.

“Untuk apa memancing ikan jika harus dilepaskan lagi? Untuk apa berburu kijang bila harus dibebaskan lagi?” perempuan dengan tongkat bisbol itu menyahut. Melempar pertanyaan yang membuat si gadis bersurai panjang bingung tak kepalang tanggung.

Gadis yang terikat termangu. Perlahan berusaha menangkap maksud dari pertanyaan yang dilontarkan si gadis tongkat bisbol. Beberapa jenak hening. Bunyi serangga musim panas terdengar dari balik bilik kayu. Musim panas yang normal. Setidaknya tiga puluh satu menit yang lalu. Tambah beberapa menit.

“Kojima-san, aku mengenalmu. Aku tahu kau tak mengenalku,” gadis tongkat bisbol berjongkok di hadapan gadis bersurai panjang yang ia panggil “Kojima”. Tongkat bisbol besi yang ia pegang tetap berada di tangan kanan.

“Apa maumu?” Haruna Kojima ingin mengusap butiran keringat yang mengalir deras di pelipisnya. Membasahi surai indahnya. Membuat kusam tampilan cerah wajahnya. Kini ia tak berharap gadis itu mau membuka ikatan di tubuhnya.

“Namaku Mayu. Mayu Watashima.” Akhirnya gadis tongkat bisbol itu memperkenalkan diri.

“Wa-Watashima kau bilang?!” Haruna menjadi sensitif mendengar nama itu. “Tidak mungkin kau-“

“Benar. Aku adiknya Yuuko Watashima,” Mayu memotong ucapan Haruna, “Dia sakit.” Seketika air mukanya berubah. Sendu. Seperti bocah kehilangan permen.

“Tentu saja kau masih ingat dirinya. Bagaimana bisa kau melupakan orang yang sangat kau benci dan orang yang sangat membencimu. Kalian saling membenci. Kurasa itu hubungan paling harmonis yang pernah ada,” papar Mayu, “Tapi sekarang dia sakit. Selamat untukmu, Kojima-san. Semua manusia pasti mengharapkan sesuatu yang buruk menimpa orang yang dibencinya.”

Haruna tak tahu apakah ia harus tertawa. Atau sedih. Menangis. Atau diam saja tak menunjukkan ekspresi apapun.

“Xerostamia,” tanpa diminta Mayu memberitahukan jenis penyakit yang menimpa kakaknya. “Oh, kasihan sekali kakakku. Kakakku yang paling kusayang.”

“Perlu kau ketahui, aku tidak sejahat itu. Aku tidak benar-benar membencinya. Percayalah padaku,” Haruna memelas. Menunjukkan mata berkilauan.

“Jangan memohon-mohon padaku, Kojima-san. Kau bersikap seolah kau peduli karena berharap aku akan melepaskanmu, ‘kan?! Jangan mimpi!”

“Aku tidak berbohong. Aku akan mengunjunginya di rumah sakit—jika kau bebaskan aku. Aku akan meminta maaf padanya atas segala yang telah kulakukan terhadapnya. Percayalah padaku, Mayu!”

“Siapa yang mengizinkanmu memanggil nama kecilku?” Mayu murka. “Tak ada yang bisa merubah keputusanku. Aku akan melakukan apapun demi kakakku. Termasuk jika itu harus menghilangkan nyawa seseorang.”

Haruna terkejut. Mata indahnya membulat takut sementara aliran keringat di wajahnya tak jua berhenti, malah semakin deras. “Tolong jangan lakukan itu!” pintanya.

Dulu, sebelum Haruna bekerja di kafe pinggir pantai, ia adalah seorang staf administrasi sebuah perusahaan periklanan. Bersama rekannya yang juga diterima bekerja di sana pada hari yang sama, Yuuko Watashima.
.
.
.

“Nyan-nyan!” begitulah panggilan kesayangan Yuuko untuk Haruna. Nama panggilan yang baru saja disahkan sendiri olehnya. “Makan siang?” tawar Yuuko mengulurkan tangan.

“Tentu,” Haruna menyambut uluran tangan itu riang. Mereka bergandengan menuju kafetaria.

“Kau tau lelaki jangkung yang ditempatkan di bagian HRD lantai dua?” Yuuko membuka percakapan.

“Mm-hm,” Haruna menggeleng sambil menyeruput sari apel.

“Itu lho, lelaki yang suka memakai dasi motif diagonal,” ujar Yuuko menggebu-gebu.

“Yuuko, itu motif umum. Semua orang punya.”

“Oh, ayolah, dia lelaki paling tampan di lantai dua.”

Haruna tak menanggapi lagi.

Esok harinya di tempat dan jam yang sama.

“Tadi aku bertemu dia di elevator,” Yuuko membuka percakapan, “Kau sudah bertemu dia hari ini?”

“Mm-hm,” Haruna menggeleng sambil menyeruput sari apel.

“Itu lho, lelaki yang suka memakai kemeja warna putih cerah,” ujar Yuuko menggebu-gebu.

“Yuuko, semua karyawan di kantor ini memakai kemeja putih. Termasuk kita.”

“Oh, ayolah, dia lelaki paling tampan di lantai dua.”

“Dan sialnya kau belum tahu namanya siapa.”

“Kau benar sekali, Nyan-nyan!” pekik Yuuko. “Apa kau mau mengatur pertemuan untukku dan dia?”

“Kamu saja tidak mengenal dia, apalagi aku.”

“Aku mengenalnya. Aku hanya tidak tahu namanya,” Yuuko membela diri.

Satu minggu kemudian di tempat dan jam yang sama.

“Aku sudah tahu namanya,”  Yuuko membuka percakapan, “Shinji Kitagawa.”

“Uh-huh,” komentar Haruna sambil menyeruput sari apel. “Kau hanya tahu namanya, cobalah untuk berkenalan langsung dan mengajaknya berbicara.”

Nice advice!” seru Yuuko, “Tapi... kau mau membantuku, ‘kan?!”

Haruna mengernyit, “Kau ini bagaimana, sih?!”

Satu bulan kemudian Yuuko dipromosikan naik jabatan menjadi manajer. Spontan saja Haruna tak terima. Ia dan Yuuko masuk kerja pada hari yang sama, mengerjakan semua hal yang sama. Mereka bahkan berteman dan makan siang bersama setiap hari. Apa alasan atasan untuk mempromosikan Yuuko dan bukan dia?! Dia bahkan lebih menarik dari Yuuko. Lebih cantik. Lebih tinggi. Lebih profesional. Lebih berkompeten.

Dengan senyum selebar-lebarnya, Yuuko menghampiri meja Haruna. “Wah, aku harus pindah meja. Maafin, ya, Nyan-nyan,” sahutnya tersenyum kecil. “Hari ini aku yang traktir, mak-“

“Selamat!” Haruna tak perlu mendengarkan ajakan Yuuko sampai selesai. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju toilet. Sekarang suara temannya itu membuat perut mulas.

“Sedang datang bulan?” tebak Yuuko dengan segala kepolosannya. Namun ia tak peduli. Yang harus dilakukannya sekarang adalah membereskan meja kerjanya di samping meja kerja Haruna dan segera berpindah seiring naiknya jabatan Yuuko.

Satu minggu berlalu. Sekarang bukan Haruna yang duduk satu meja dengan Yuuko di kafetaria. Melainkan Shinji. Lengkaplah kebahagiaan Yuuko. Karir meningkat, urusan asmara pun tak mengingkari. Yuuko tertawa riang mendengar kelakar Shinji. Selain lelaki paling tampan di lantai dua, ternyata dia juga lelaki paling lucu di lantai dua.

Haruna menatap keki dari meja lain di kafetaria. Sari apel yang dia minum tak mampu memperbaiki suasana hatinya yang semakin hari semakin keruh. Kenapa Shinji lebih tertarik pada Yuuko? Kenapa tidak pada dirinya? Pada Haruna yang tinggi dan menawan. Haruna yang bisa menjaga sikap seperti gadis bangsawan di meja makan. Haruna yang bisa menjaga kepribadian seanggun mungkin. Tak cukupkah gadis periang itu diberi jabatan tinggi oleh atasan? Jangan-jangan bos tidur dengan dia. Jangan-jangan Shinji tidur dengan dia pula. Dasar jalang! Lihatlah, kau cuma wanita murahan. Mudah sekali mendapatkan jabatan dan cinta dalam waktu yang berdekatan. Oh, lihatlah aku yang menjadi korban. Haruna yang malang.

“Nyan-nyan, sudah lama tak makan bareng,” sapa Yuuko ceria seperti beberapa pekan yang lalu. Ia mendesak masuk ke kubikel Haruna. Tak peduli pada jam kerja. Toh dia manajer.

Haruna terdiam. Tangannya sibuk menggerakkan mouse. Klik sana-sini sok sibuk. Biar perempuan jalang ini pergi. Tak usah mengajak bicara.

“Ayolah, kau harus menemaniku makan. Ada yang ingin kuceritakan,” Yuuko menggoyangkan bahu Haruna. Haruna masih bergeming. Sabar. Tahan.

“Ayolaaaah... aku ingin cerita tentang Shinji. Sepertinya dia mengambil satu langkah maju. Aku harus bagaimana?”

Tak ingin sekalipun Haruna berucap kata. Tak akan sedikitpun ia menjawab ajakan Yuuko. Kalau bisa, ia mau menutup kedua telinganya. Cukup dengan basa-basi tak berguna itu.

“Sudah seminggu ini dia mengantarku pulang. Dia menjemputku juga setiap pagi. Tak kusangka setelah predikat lelaki paling tampan di lantai dua dan lelaki paling lucu di lantai dua, sekarang bertambah lagi dengan lelaki paling jantan di lantai dua.” Yuuko bercerita tanpa diminta. Benar-benar mulut yang tak punya etika.

“Tapi dia masih belum mengatakannya. Kau tahu, tiga kata ajaib yang membuat semua perempuan terlena,” bisik Yuuko. Tak peduli jika telinga Haruna sudah panas mendengar omong kosong itu.

“Aku yakin tak akan lama lagi. Pasti waktu itu datang. Lalu-“

Haruna berdiri. Membuat Yuuko membisu. “Cukup. Aku tak tahan lagi. Aku membencimu, Watashima! Aku mau berhenti dari sini. Nikmati hidupmu. Aku sungguh tak tahan lagi,” dan ia berlalu menuju toilet.

Yuuko terpaku. Haruna memanggil nama keluarganya. Haruna marah. Marah sekali.

Yuuko masih terpaku di tempat ketika Haruna kembali.

“Nyan-nyan...”

“Aku sungguh, sungguh, sangat membencimu, Watashima Yuuko!”

Runtuh sudah pertahanan Yuuko. Air mata menganak sungai di pipinya. Menghapus wajah cerianya.
.
.
.

Bersama keringat, air mata mengaliri wajah cantik Haruna. Semakin deras. Tak kuasa ia usap. “Ini semua salahku...”

“Tentu saja. Kakakku depresi karena sikapmu, Kojima. Hingga perlahan-lahan penyakit itu datang dan merenggut senyum kakakku.” Mayu mengusap air mata yang meleleh di pipinya.

“Aku tidak... bermaksud menyakitinya. Aku hanya... tak suka akan perlakuannya padaku. Dia yang menyakitiku. Dia yang membuatku menderita. Aku yang seharusnya marah...”

PLAK. Jatuh saja tamparan itu di pipi Haruna.

“Kau masih berani menyalahkan kakakku? Kau berani menyalahkan orang yang hampir mati. Kau keji. Lebih dari iblis!” Mayu menangis sejadi-jadinya. Pun Haruna. Menangis sekuat-kuatnya. Entah karena bayangan masa lalu, atau karena takut gadis itu hendak membunuhnya saat ini. Atau dua-duanya.

Mereka terdiam dalam isak masing-masing. Hati perempuan itu rapuh. Hati perempuan itu sensitif. Tak bisa tersentil sedikit, air mata akan turun sukarela.

“Dengar, Kojima-san, kakakku akan pergi sebentar lagi. Aku tak punya pilihan. Sebelum dia yang pergi, aku ingin kau pergi lebih dulu.”

Bulu kuduk Haruna berdiri. Jangan! Ia tak mau mati. “Tidak!” Haruna meronta sekuat tenaga. Tak bisa hidupnya berakhir di sini dengan jalan seperti ini. Malang benar nasibnya. Disakiti sang kakak, sekarang mau dibunuh adiknya. Kemana Dewi Fortuna? Kenapa jalan takdirnya begini buruknya?

Mayu menutupi matanya dengan kain kecil yang sejak tadi tersimpan di saku. Ia memutar badannya sampai terasa pusing.

“A-Apa yang mau kau lakukan? Lepaskan aku! Lepaskaaan!” Haruna berontak sekuat tenaga yang tersisa. Sisa menangis.

“Tolong! Toloooong!” Sial sekali. Kenapa tak ada orang lewat? Apakah rumah reot ini berada di ujung dunia?

“Tolong! Siapapun tolong aku!” Haruna berteriak dengan sisa tenaga. Sisa menangis dan sisa berontak.

Mayu mengetuk-ketukkan tongkat besi yang ia pegang pada permukaan lantai kayu lapuk. Badannya bergoyang kanan-kiri. Pusing. Tadi berputar-putar.

“Watashima, dengarkan aku, tolong, lepaskan! Aku... akan minta maaf. Aku... akan melakukan apapun demi Yuuko. Tolong jangan lakukan itu...” Haruna memohon. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain itu. Tolonglah, Tuhan, batalkan rencana gadis ini. Ia tak boleh jadi pembunuh. Aku tak mau mati.

Tongkat bisbol itu berhenti mengetuk. Permukaan besi yang dingin menempel di pipi Haruna. Wajah Haruna merah padam. “Tidak. Tidak. Jangan. Tolong. Jangan...” ia meracau.

Mayu mengayunkan tongkat itu ke udara.

“Tolong, Watashima, berikan aku kesempatan. To... long...”

Tak bisa lagi tekad Mayu berubah. Tak ada interupsi. Tak ada permintaan terakhir.

Sayonara, Kojima-san. Sayonara.”

CRASH!

Padahal... padahal Haruna sudah berusaha. Memang gadis yang malang. Padahal buah semangka itu lebih besar dari kepalanya. Tapi Mayu sedang tak ingin makan semangka.

“Kakak, ‘kebencian’ itu telah musnah...”

To be next chapter

No comments:

Post a Comment