Thursday, August 16, 2012

Piece of Sakura (an AKB48 fanfic)


Karena liat banyak yang bikin cover/poster buat fanfic, saya juga nyoba nih! Dengan kemampuan seadanya, cuman mindah-mindahin gambar tanpa efek tambahan. Ya, maklumlah, saya kurang bersahabat sama sotosop =="

 
Title: Piece of Sakura

Author: Tsu

Genre: Friendship, Mystery

Rate: T

Main Cast: Atsuko Maeda, Jurina Matsui

Other Cast: Minami Takahashi, Haruna Kojima, Yuko Oshima, Tomomi Itano

Disclaimer: AKB48 & SKE48 punya Aki-P, agensi mereka, dan tentu diri mereka sendiri. Terinspirasi dari PV Sakura no Ki Ni Narou.

Summary: Apa benar sebuah janji akan terbawa sampai mati? Apa benar jika seseorang telah meninggal dan masih punya sesuatu hal yang belum selesai di dunia, akan kembali lagi? Apa benar jika hantu bisa membunuh manusia? Seorang gadis muda telah membuktikannya.
.
.
.
Musim semi selalu terasa menyenangkan. Bagaimana tidak? Di negeri bunga Sakura, musim semi merupakan musim yang ditunggu-tunggu, khususnya bagi pecinta bunga. Atsuko tidak tahu sejak kapan ia begitu menyukai bunga anggun bermahkota merah muda cerah itu. Mungkin karena di halaman sekolah tempat ia mengajar terdapat pohon sakura yang tinggi dan sekarang sedang memekarkan bunga indahnya.

Ini adalah tahun ketiga bagi Atsuko di Hanamari Gakuen, sekolah menengahatas di ibukota Jepang, Tokyo. Ia menikmati pekerjaannya sebagai pengajar seni karena ia sangat mencintai akting, bernyanyi dan menari. Ibarat kumbang menemukan bunga yang sedang merekah; cocok.

“Maeda sensei1, jam pelajaran sebentar lagi dimulai!” teguran seorang siswa membawa Atsuko kembali ke dunia nyata, tatkala guru muda itu asyik memandangi pohon sakura di halaman.

Wakarimashita2...” sepatu berhak tinggi yang dikenakannya berbunyi tak-tak-tak ketika dengan perlahan kaki Atsuko melangkah mengikuti sang murid.

***

“Aku sudah mengiriminya e-mail berkali-kali, tapi tidak ada balasan,” ujar perempuan dengan rambut yang diikat tinggi-tinggi seraya menutup flip ponselnya.

“Apa sudah mencoba menelponnya?” tanya perempuan lain sambil menyesap cappucinno dengan santai.

“Eng, belum.”

Baka3-mina!” perempuan lain yang mempunyai rambut lurus panjang menjitak kepala si perempuan dengan rambut yang diikat tinggi-tinggi.

“Nyan-nyan, sakit!” keluh Minami, atau dipanggil Takamina, kadang dipanggil Baka-mina jika ia menjengkelkan.

“Bagaimana kalau aku coba telpon?” tawar Yuko sambil mengeluarkan ponselnya kemudian memijit beberapa tombol. Minami, Haruna, dan Tomomi menunggu dan memperhatikan.

Beberapa saat kemudian, Yuko menggelengkan kepala. “Tidak diangkat,” desahnya.

“Acchan selalu saja beralasan sibuk. Padahal besok kita sudah harus berangkat ke Nagoya,” Haruna memajukan bibirnya; kebiasaan kalau ia sedang kesal.

“Nyan-nyan, bibirmu seksi. Mau aku cium?” kelakar Yuko sambil melingkarkan tangannya di bahu Haruna.

KRIIIIING!!

Ponsel Yuko berdering.

“Acchan! Acchan menelpon!” pekik Yuko sambil memijit tombol jawab dan mengubahnya ke loudspeaker.

“Yuko, ada apa?” tanya Atsuko dari seberang sana.

“Kau ini kemana saja, sih, Acchan?!” semprot Minami.

“Padahal hari ini kita janji berkumpul di kafe A,” sambung Haruna.

“Kau ingat ‘kan besok hari apa?” tanya Tomomi.

Aku sibuk, teman-teman. Melatih anak didikku untuk menyambut lomba seni musim semi ini,” Atsuko membela diri.

“Ya-ya-ya, ibu guru yang sibuk. Tapi besok hari Minggu, lho...” celoteh Minami.

Ayolah, ini lebih penting daripada sekedar shopping di akhir pekan.”

SHOPPING?!” pekik Minami, Haruna, Yuko dan Tomomi berbarengan.

“Memangnya apa lagi yang biasa kalian lakukan di akhir pekan?”

“Ya Tuhan, besok bukan sekedar hari libur, Acchan. Apa kau benar-benar lupa besok hari apa?” tanya Tomomi yang hampir hilang kesabaran.

Apa?” tanya Atsuko tak acuh.

“Agenda tahunan kita ke Nagoya. Jangan bilang kau lupa!” ujar Minami.

Di ujung sana, Atsuko diam; berpikir sejenak. “Ah, kunjungan rutin ke pemakaman Jurina? Tapi aku sibuk sekali.”

Yuko menggelengkan kepalanya tanda menyerah.

“Acchan! Acchan! Tahun kemarin dan tahun kemarinnya kamu juga tidak ikut. Nanti arwah Jurina menghantuimu, lho!” seloroh Haruna yang kemudian disambit tangan Minami.

“Ini sudah tahun kesepuluh sejak kematian Jurina. Mau sampai kapan kalian mengunjungi makam dan rumahnya?”

“Tidak ada salahnya selama kita masih sempat,” jawab Tomomi.

Tapi aku tidak sempat. Aku sibuk. Apalagi hari Minggu besok. Aku melatih anak-anak untuk lomba yang semakin di depan mata. Jadi, aku titip salam untuk Tou-san dan Kaa-san4. Kalian sudah biasa tanpaku, ‘kan? Ja nee5...TUT TUT TUT.” Atsuko mengakhiri panggilan.

Yuko menghela nafas berat, “Selalu berakhir seperti ini. Apalagi alasan yang harus kita katakan pada Tou-san dan Kaa-san? Mereka tahu ‘kan kalau Acchan teman terdekat Jurina? Bahkan sudah mereka anggap anak sendiri? Sementara sudah tiga tahun terakhir ini Acchan tak pernah mengunjungi mereka.”

“Memangnya Acchan tidak takut dikutuk arwah Jurina, ya?” sahut Haruna.

“Hush! Nyan-nyan ngomongnya serem banget, sih!” Tomomi bergidik.

***

Hari sudah gelap ketika Atsuko sampai di kamar apartemennya. Perlombaan musim semi mendatang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tapi Atsuko bangga, ia bertekad mendidik anak muridnya dengan baik sehingga perlombaan nanti akan membawa kemenangan untuk Hanamari Gakuen.

Sejak SMU, Atsuko memang bercita-cita jadi guru. Tidak hanya ia sendiri, tapi sahabat terdekatnya juga, Jurina. Ia dan Jurina sering berkhayal tentang kehidupan dewasa mereka menjadi pengajar di sekolah menengah. Mengenakan blazer yang modis, mengenakan sepatu hak yang berbunyi merdu, mengenakan kacamata dan menenteng buku panduan mengajar, juga menggaet siswa-siswa tampan. Tidak. Yang terakhir itu hanya gurauan.

Sudah sepuluh tahun sejak teman terdekatnya meninggal karena tumor ganas yang hinggap di paru-parunya. Memaksa gadis muda itu untuk meninggalkan dunia lebih cepat dari teman-teman sebayanya. Jika Jurina masih ada, sekarang pasti ia dan Atsuko menjadi guru bersama-sama. Sepulang dari sekolah, mereka berdua ke kedai ramen atau coffee shopuntuk sekedar bersenda gurau membicarakan bagaimana hari-hari mereka di sekolah. Ah, akan terasa menyenangkan.

Memikirkan hal itu, tak ayal lagi membuat Atsuko menitikkan bulir air matanya. Ia meraih figura di atas meja di samping tempat tidurnya, yang berisikan potret ia dan Jurina mengenakan seragam sekolah mereka dulu; jas berwarna merah muda cerah dengan dasi motif sakura yang cantik.

Gomen ne6...” gumam Atsuko seraya mendekap figura foto tersebut.

Bukan tidak mau ia ikut pergi ke Nagoya, tapi keadaan benar-benar tidak memungkinkan. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan besok. Ya, lebih penting dari sekedar mengunjungi rumah orang meninggal. Bayangkan saja, jarak Tokyo-Nagoya itu tidak dekat. Lagipula, Atsuko bisa mengunjungi keluarga Jurina kapanpun ia mau. Tapi sudah tiga tahun Atsuko tidak melakukannya.

Atsuko terus mendekap foto itu sepanjang malam hingga ia jatuh tertidur karena lelah.

***

KRING! KRIING! KRIIING!

Sudah terhitung 18 kali sejak ponsel di samping bantal itu berdering nyaring. Jarum pendek jam weker di meja menunjuk angka 8. Perlahan-lahan mata Atsuko terbuka. Sedikit bengkak bekas air mata semalam. Ia meraih ponselnya dan menjawab panggilan dengan mata masih setengah menutup.

Moshi-moshi.7

Acchan! Kami menunggu di stasiun. Cepatlah! Masih ada sepuluh menit lagi sebelum kereta berangkat,” seru Minami di seberang telpon.

“Minami, sudah kubilang aku sibuk. Aku tidak bisa ikut,” ujar Atsuko tegas.

Ayolah, Acchan, yang benar saja?! Jurina pasti merindukanmu,” Minami coba merayu.

“Jangan bodoh! Jurina sudah meninggal. Apanya yang merindukanku? Nisannya?” kini mata Atsuko terbuka lebar karena jengkel akan ucapan Minami.

Kalau begitu, Tou-san dan Kaa-san pasti merindukanmu.”

“Sampaikan salamku, apa susahnya?!”

Sudahlah, dia bilang dia tidak mau ikut,” terdengar Yuko berbicara pada Minami.

“Ya, aku tidak ikut,” Atsuko membenarkan seraya bangkit dari ranjang.

Tapi Acchan...” Minami masih berusaha membujuk.

“Aah!!” pekik Atsuko ketika ia merasakan ada sesuatu yang menusuk permukaan telapak kakinya. Ponsel di tangannya terlempar ke ranjang karena kedua tangan Atsuko berusaha memeriksa kakinya.

Acchan! Acchan!” suara Minami masih terdengar sampai Yuko berinisiatif memutuskan panggilan dengan wajah menekuk.

Atsuko terduduk kesakitan. Perhatiannya tertuju pada sebuah figura foto yang kini tergeletak di depannya. Kacanya sudah hancur. Adalah sebagian yang kini menusuk telapak kaki Atsuko. Pasti terjatuh dari ranjang semalam, pikir Atsuko. Tapi, setinggi-tingginya sebuah tempat tidur, tidak akan membuat kaca figura hancur sebegitu rupa jika jatuh dari atasnya. Ini di atas normal. Mungkinkah ini firasat buruk? Ah, takhayul! Atsuko menepis pikiran buruknya sambil berupaya keras mengambil pecahan kaca dari telapak kakinya dengan terkadang diselingi aduhan dan keluhan kecil.

Jurina menatap Atsuko. Menatapnya dari balik pecahan kaca.

***

Ohayou8!”

Ohayou, Maeda sensei!!” koor anak-anak ekstrakurikuler seni yang disiapkan sekolah untuk berpartisipasi dalam lomba mendatang.

Atsuko memasuki ruangan dengan senyum cerah meski ia harus berjalan terpincang-pincang karena telapak kaki kirinya terluka. Lukanya kini sudah berbalut perban, dan ia hanya mengenakan slippers karena sangat tidak mungkin memakai selop berhak tinggi dalam kondisi kaki seperti ini.

“Maeda sensei daijobu9?” seorang siswi mewakili teman-temannya untuk bertanya.

“Hanya kecelakaan kecil. Tidak apa-apa,” jawab Atsuko dengan menorehkan senyuman.

Hari Minggu itu, latihan berjalan lancar seperti biasa meski kondisi Atsuko tidak bisa dibilang fit. Namun demi HanaGaku, Atsuko optimis mereka bisa membawa pulang kemenangan.

Latihan berakhir pukul lima sore. Atsuko bersama anak didiknya pergi ke restoran yakiniku sesuai dengan rencana mereka tadi, alih-alih membawa Atsuko ke klinik untuk memeriksa luka di kakinya.

DRRRT. DRRRT.

Ponsel Atsuko bergetar tatkala guru muda itu sibuk memanggang daging. Ia bergegas memeriksa ponselnya untuk mengetahui siapa yang mengiriminya pesan. Namun air mukanya berubah keruh ketika melihat layar ponsel. Semua muridnya tidak ada yang menyadari perubahan ekspresi Atsuko, mereka terlalu sibuk makan sambil tertawa-tawa.

Menggosok-gosok matanya adalah upaya tambahan Atsuko. Mungkin apa yang dilihatnya hanya halusinasi akibat ia terlalu kelelahan juga pengaruh asap daging di meja yang berada di depannya. Nihil. Apa yang ia lihat tidak berubah.

Jurina. Nama itu tampak dalam data pengirim pesan. Atsuko termenung. Ia sudah tidak menyimpan nomor ponsel Jurina ataupun nomor ponsel seseorang dengan nama Jurina. Lagipula ia tidak mempunyai kenalan lain yang bernama Jurina. Lalu ini apa maksudnya?

Isi pesan itu membuat Atsuko tambah bingung. “Musim semi masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu.” Ia hendak membalasnya dan beranggapan positif bahwa ini hanyalah keusilan teman-temannya. Tapi usahanya gagal. Pesan tidak terkirim karena tidak ada nomor pengirim. Hanya terdapat nama. Hanya nama.

“Maeda sensei, dagingnya gosong, nih!” seru seorang siswi yang duduk tepat berhadapan dengan Atsuko.

“Ee?!” Atsuko segera mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Sementara ponselnya ia jejalkan ke dalam tas dengan gusar.

***

Atsuko menghempaskan badannya ke tempat tidur. Empuknya tempat tidur selalu menenangkan hati, ungkapan yang diucapkan Jurina dulu tiba-tiba melintas di otak Atsuko. Sepanjang perjalanan pulang tadi, Atsuko terus berusaha menghubungi dan mengirimi pesan balasan untuk seseorang yang mengaku Jurina. Namun berapa kalipun ia berusaha, semuanya tak membuahkan hasil. Sejuta kali ia coba, sejuta kali ia gagal.

Atsuko menerawang. Pikirannya berkecamuk. Lebih karena pesan aneh yang ia terima tadi. Pandangan matanya menyapu ruangan hingga perhatiannya terhenti pada foto di atas meja. Di sana ada dua buah figura foto yang mempunyai ukuran dan model serupa. Figura foto di sebelah kiri menampilkan enam orang gadis dengan seragam warna merah muda cerah. Minami, Atsuko, Haruna, Jurina, Yuko dan Tomomi. Di sebelahnya terdapat figura foto Atsuko dan Jurina. Foto yang semalam tadi didekap Atsuko hingga ia jatuh tertidur dan benda itu jatuh terantuk lantai hingga kacanya pecah.

Mata Atsuko membelalak ketika ia sadar foto yang kini terpasang rapi di atas meja tampak utuh seperti semula. Sama seperti saat ia membelinya. Tanpa kaca yang pecah. Atsuko yakin ia belum menggantinya sejak insiden tadi pagi. Ataukah ia mempunyai gangguan memori? Tidak. Ia yakin belum mengganti kacanya. Atau mungkin seseorang memasuki apartemennya untuk mengganti kaca figura yang pecah? Itu lebih aneh.

Bulu kuduk Atsuko berdiri. Ia mengusap pundaknya perlahan sambil menarik selimut tinggi-tinggi. Sungguh tidak ada niat untuk mengganti pakaian dan membasuh badan atau sekedar cuci muka dan sikat gigi dulu, Atsuko hanya memejamkan matanya rapat-rapat, berharap bisa cepat tidur dan bermimpi indah.

***

Angin berhembus lembut, menggugurkan helaian bunga warna merah muda cerah ke permukaan bumi. Irama yang dihasilkannya lebih syahdu daripada mendengarkan musik klasik gubahan maestro terhebat sekalipun.

Ada dua orang gadis yang terbaring di bawah pohon sakura. Mereka menaikkan tangannya tinggi-tinggi dan menggoyang-goyangkannya seiring gugurnya helaian bunga sakura.

“Aku rasanya pernah mengalami ini,” ucap seorang dari mereka.

“Itu namanya dejavu, Acchan!” seseorang lagi menyahut seraya terkekeh.

Souka10?”

Lama mereka terdiam, hanya menikmati sapuan angin yang menyapa lembut wajah mereka.

Ano11, Jurina, kau ingin jadi guru, ya?”

“Iya. Acchan juga, ‘kan?” seseorang yang dipanggil Jurina itu menoleh dengan senyum.

Atsuko, yang bertanya hanya mengangguk sambil membalas senyuman Jurina.

“Berjanjilah, kita akan berusaha bersama-sama. Kita berdua harus bisa mencapai apa yang kita cita-citakan! Tak ada yang memisahkan kita. Tak ada yang bisa menghalangi mimpi kita,” Jurina mengacungkan jari kelingkingnya tinggi-tinggi di udara.

“Janji!!!” seru Atsuko. Ia mengikuti Jurina mengacungkan kelingkingnya di udara hingga kedua jari mereka bertaut.

Mereka berdua tergelak.

“Acchan...” tawa Jurina terhenti. Ia menatap mata Atsuko dengan intens.

“Apa?” Atsuko kebingungan dengan perubahan ekspresi tiba-tiba Jurina.

“Aku kesepian. Kau mau menemaniku?”

“Apa yang kau bicarakan? Tentu saja aku akan selalu menemanimu. Kau ‘kan sahabat terbaikku, Jurina,” telapak tangan Atsuko membelai lembut pipi gadis yang terbaring di samping kirinya. “Bukankah kita soulmate?!”

“Hihihi,” Jurina terkikik.

“Hihihi,” Atsuko ikut terkikik. Tangan kanannya terulur ke atas, menyongsong helai demi helai bunga berwarna merah muda yang berguguran tanpa henti. Ia berhasil menangkap satu helai kemudian menempelkannya ke pipi Jurina.

Nani kore12?” mata Jurina membulat.

Acchan terkekeh, “Hei cantik, jangan sedih! Aku akan selalu menemanimu. Kapanpun kau butuh aku. Janji...”

Namun Jurina terdiam. Hal itu membuat Atsuko bingung.

USO13!!” Jurina menjerit sambil bangkit terduduk. “Sudah tiga tahun kau tidak datang. Kau sudah melupakan aku ‘kan, Acchan?!” tanpa mengindahkan tatapan penuh tanya dari Atsuko, Jurina berdiri kemudian berlari.

“Jurina, apa maksudmu?” Atsuko mengejar Jurina.

“Mana janjimu, Acchan?! Kau bohong!”

“Tunggu! Jurina! Jurina!” Atsuko terus berlari sekuat tenaga. Tapi ia tidak berhasil menyusul Jurina.

“Jurina! Jurinaaa!” sebuah akar pohon membuat Atsuko tersandung dan jatuh terjerembab.

“Jurinaaa!” keringat dingin mengucur dari wajahnya. Langit-langit kamar yang terang menyambutnya dalam diam. Atsuko bangun dan mengusap keringat di pelipisnya dengan punggung tangan. Ia berniat meraih gelas air minum dari atas meja ketika figura foto berisikan ia dan Jurina mengalihkan perhatiannya.

Kaca foto itu retak.

***

Berita ramalan cuaca tadi pagi pasti salah. Musim panas akan datang, kenapa turun hujan sederas ini? Ketika Atsuko berada di Nagoya; di depan nisan Jurina.

Baka ja nai14!” ia segera berlari pontang-panting menerobos derasnya hujan. Tak ia pedulikan telapak kaki kirinya yang masih terasa sakit. Ia hanya berlari secepat mungkin agar segera menemukan tempat untuk berteduh.

Hujan yang sangat deras membuat pandangan Atsuko mengabur. Objek-objek yang bisa ditangkap retinanya bak gambar yang di-blur. Dan ketika ada sebuah batu lumayan besar yang menyongsong kakinya, Atsuko tidak tahu. Ia terpelanting ke depan di mana sebuah batu nisan menyambut kepalanya dengan pasti.

***

“Musim semi masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu.”

“Bunga sakuranya juga.”

“Angin yang bertiup sepoi-sepoi.”

“Ah, lenganku bergoyang-goyang karena angin.”

“Hap. Aku dapat nih, sehelai bunga sakura!”

“Hihihi.”

“Kali ini biarkan aku menempelkannya di pipimu.”

“Kau hanya meniru apa yang aku lakukan sepuluh tahun yang lalu. Gak kreatif!”

“Biar saja.”

“Cih! Bunga sakuranya tidak lebih besar dari yang kutempelkan dulu.”

“Mau yang lebih besar? Copotkan saja dasi bunga sakuramu, BakAcchan!”

“Tidak bisa, JuriBaka!”

“Baka Acchan!”

“JuriBaka!”

“Hahaha.”

“Hahaha.”

—FIN—



Daftar kata:
1.    Sensei: guru.
2.    Wakarimashita: aku mengerti/baiklah.
3.    Baka: bodoh.
4.    Tou-san/Kaa-san: ayah/ibu, panggilan akrab.
5.    Ja ne: sampai jumpa.
6.    Gomen ne: maaf.
7.    Moshi-moshi: halo, sapaan di telepon.
8.    Ohayou: selamat pagi.
9.    Daijobu: tidak apa-apa/baik-baik saja.
10.  Souka, versi pendek dari “sou desu ka”: begitu ya?
11.  Ano: ngg, mm, dsb.
12.  Nani kore: apa nih?
13.  Uso: bohong.
14.  Baka ja nai: sialan, brengsek, dsb.

4 comments: