Awal bulan nih, komik favoritku rilis. Jadi
aku segera meluncur ke Gramedia untuk berburu. Beruntung, masih ada beberapa
buah komik Dolls Collector volume 14
di rak. Bulan lalu aku kehabisan volume 13 hingga terpaksa harus nyari
ke toko buku lain. Komik ini memang gak se-mainstream
Narto Saipudin, Beach Hollow, atau Two
Piece, makanya stok yang disediakan tidak pernah sebanyak komik-komik itu.
Jadi aku harus segera mencakar tanah dan melompat layaknya harimau melihat
daging rusa langka.
Aku masih terpaku di depan rak yang memajang Dolls Collector ketika ada seorang cewek
dengan rambut panjang sebahu berdiri di sampingku dan meraih satu buah Dolls Collector. OMG! Dia cewek dan dia
baca Dolls Collector? Komik dengan
rating M untuk violence dan ecchi.
“Hei, serial cantik ada di sebelah sana tuh!”
aku menunjuk rak komik-komik cewek dengan ujung daguku.
Dia menoleh padaku. Menyeringai. Cewek dengan
rambut panjang sebahu, mengenakan terusan warna hijau terang, berwajah manis...
“Do you
wanna be my next doll?”
...dan dia baca Dolls Collector.
Eh, apa katanya tadi? Itu ‘kan kutipan dari
komik. OMFG! Dia bener-bener baca Dolls Collector.
***
Aku sedang menyesap kopi kalengan instan di
pelataran parkir kampus. Menunggu Revan, Ardi, dan Cahyo buat hang-out bareng ke Sunbucks—meski sebenarnya aku sedang ngopi saat ini. Lama sekali mereka sampai
kopi kalenganku habis. Aku mengayun-ayun kaleng itu sebentar sebelum akhirnya
kutendang dengan gaya Lionel Messi di lapangan hijau. Syuuung, kaleng itu
terbang di atas pelataran parkir, menukik turun secara perlahan kemudi-Astaga! Ada sekelompok cewek yang lewat persis di bawah kaleng itu akan
mendarat.
“Aaaw!”
Oops, kaleng itu mengenai kepala salah
seorang cewek yang berjalan paling belakang. Ngumpet aja kali, ya? Pura-pura
gak tau, gitu.
Aku melihat cewek itu memandang berkeliling
mencari tersangka hingga pandangannya berhenti padaku. Aku bersiul sambil
menggaruk tengkuk yang beberapa detik kemudian kusadari hal itu membuatnya
semakin yakin bahwa aku yang melempar kaleng itu—lebih tepatnya menendang.
Dia berjalan ke arahku. Alamak! Aku harus
ngapain nih? Akting sok playboy
sambil ngomong: “Cewek, gue udah lama merhatiin elu. Makanya tadi pas lu lewat
gue lempar pake kaleng kopi. Ntar sore nonton, mau kan?” Atau pasang tatapan
paling tajam terus bilang: “Gue lagi nyari soulmate.
Kata dukun, hari Selasa jam 9:30 gue harus lemparin sesuatu ke udara. Benda itulah
yang akan bawa gue ke soulmate gue. So, here you are...”
Cewek itu sampai di depanku. Gawat nih!
Mungkin aku bakalan dipukulin pake tasnya, ato buku tebal yang ditentengnya.
Plung! Dia melemparkan kaleng tadi ke tong
sampah—yang ternyata ada tepat di sampingku!
Kemudian pergi menyusul teman-temannya tanpa sepatah kata pun. Apa-apaan tuh
cewek?! Si charming ini malah dicuekin.
Rasanya aku pernah liat cewek itu. Tapi
dimana, ya?
***
Cahyo ngajak main
futsal pulang kuliah. Karena aku gak bawa kendaraan hari ini, otomatis harus
nungguin Cahyo di gerbang kampus. Agak molor juga tuh anak, gara-gara ngurusin
makalah yang nilainya E sama dosen.
Segerombol
mahasiswi yang lewat menyita perhatianku yang waktu itu lagi update status tentang ‘menunggu Cahyo’. Mereka
bergosip tentang banyak hal; salon, fashion,
mall, bahkan hal sepele sampai aturan keramas dua hari sekali atau setiap
hari. Aku sih keramas kalo abis mimpi bas-oops!
Setelah gerombolan
berisik itu lewat, muncul seorang cewek dengan rambut sebahu dan menenteng buku
tebal di tangan kanannya. Gak salah lagi. Aku pernah ngeliat cewek ini di
tempat lain. Tapi aku gak inget dimana. Mungkin otakku mesti di-upgrade, atau format dulu sekalian.
Tanpa sadar naluri
detektifku memerintah si kaki untuk mengikuti dia. Menyusuri pelataran luar
kampus. Trotoar. Halte bus. Sebuah bus berhenti, dia memasuki kendaraan besar
itu. Dan aku mengikutinya dari belakang.
Di dalam bus, aku
bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia dapat tempat duduk di samping seorang
ibu-ibu yang tengah tertidur pulas. Aku memilih menggantungkan tangan; berdiri,
agar bisa melihat wajahnya.
Drrrrrrtttt...drrrrrttt...
Eh, ponselku bergetar. Aku merogohnya dengan
tangan kiriku dan segera menekan tombol telepon hijau ketika melihat layar dan rupanya
Cahyo menelponku. “Halo?”
“Elu dimana?”
“Gue di bus.”
“Hah? Lu ngapain di situ? Bukannya lu bilang
nungguin gue di gerbang kampus?”
“Anjrit! Kok gue bisa di sini?”
“Kok malah nanya gue?”
***
“Kemarin gue kayak
kerasukan setan, Yo.” Mungkin cewek-cewek kalo curhat kayak gini.
Cahyo cuek sambil
menyeruput teh botolnya.
“Akhirnya gue
pasrah turun di halte berikutnya.” Aku udah gak nafsu makan ngabisin ketoprak
Bu Jamil. Curhat itu ngilangin nafsu makan. Mungkin cewek-cewek kalo curhat
kayak gini, makanya mereka sering kelamaan nongkrong di kantin ato kafe.
Cahyo nyengir
sebentar kemudian menyeruput lagi teh botolnya.
“Terus gue harus
naik bis lagi buat muter balik ke tempat futsal.” Aku menyuapkan ketoprak ke
mulut. Udah dibayar, sayang kalo gak dimakan.
Cahyo menyeruput
teh botol lagi.
“Sial lu, Yo! Itu
‘kan teh botol gue!” Aku menyeret teh botol yang hampir habis dari tangannya.
Baru kusadari, di meja ini cuma ada satu teh botol. Dan itu punyaku. Curhat itu
bikin lupa sama benda-benda di sekitar kita.
Aku menyeruput teh
botolku yang hampir habis ketika dengan tiba-tiba tersedak karena melihat
seseorang.
“Kenapa? Teh
botolnya asem? Sini gue bantu abisin!” Cahyo hampir merampok teh botol aku lagi
kalo gak segera kugampar tangannya.
Cewek itu! Cewek
yang belakangan mengganggu jalannya otakku, membuatku kayak kerasukan setan.
Sekarang dia duduk di depanku. Tidak benar-benar tepat di depanku sih, tapi di
meja lain di kantin ini, dan kebetulan letak duduknya berhadapan denganku meski
berjarak tiga meter.
Tatapanku terpaku
padanya. Dengan sigap Cahyo mengambil alih teh botolku dan segera menyeruputnya
habis. Dia mengikuti arah pandangku karena penasaran.
“Lu naksir dia?”
“Manis ‘kan, Yo?”
Cahyo
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namanya Diasta, mahasiswi arsitektur.”
Oh. Sekarang aku tahu namanya. Dia yang
misterius. Dia yang selalu berjalan di belakang. Dia yang selalu ada di
mana-mana. Dia yang baca komik rating M. Dia yang berhasil menawan hatiku. Dia
Diasta.
Sepersekian detik kemudian dia memandang ke
arahku. Tak dapat dicegah mata kami beradu. Aku terpaku di tempat.
Dia tersenyum.
*END*