Tuesday, January 8, 2013

Dia Diasta (a JKT48 fanfic)



Awal bulan nih, komik favoritku rilis. Jadi aku segera meluncur ke Gramedia untuk berburu. Beruntung, masih ada beberapa buah komik Dolls Collector volume 14 di rak. Bulan lalu aku kehabisan volume 13 hingga terpaksa harus nyari ke toko buku lain. Komik ini memang gak se-mainstream Narto Saipudin, Beach Hollow, atau Two Piece, makanya stok yang disediakan tidak pernah sebanyak komik-komik itu. Jadi aku harus segera mencakar tanah dan melompat layaknya harimau melihat daging rusa langka.

Aku masih terpaku di depan rak yang memajang Dolls Collector ketika ada seorang cewek dengan rambut panjang sebahu berdiri di sampingku dan meraih satu buah Dolls Collector. OMG! Dia cewek dan dia baca Dolls Collector? Komik dengan rating M untuk violence dan ecchi.

“Hei, serial cantik ada di sebelah sana tuh!” aku menunjuk rak komik-komik cewek dengan ujung daguku.

Dia menoleh padaku. Menyeringai. Cewek dengan rambut panjang sebahu, mengenakan terusan warna hijau terang, berwajah manis...

Do you wanna be my next doll?”

...dan dia baca Dolls Collector.

Eh, apa katanya tadi? Itu ‘kan kutipan dari komik. OMFG! Dia bener-bener baca Dolls Collector.

***

Aku sedang menyesap kopi kalengan instan di pelataran parkir kampus. Menunggu Revan, Ardi, dan Cahyo buat hang-out bareng ke Sunbucksmeski sebenarnya aku sedang ngopi saat ini. Lama sekali mereka sampai kopi kalenganku habis. Aku mengayun-ayun kaleng itu sebentar sebelum akhirnya kutendang dengan gaya Lionel Messi di lapangan hijau. Syuuung, kaleng itu terbang di atas pelataran parkir, menukik turun secara perlahan kemudi-Astaga! Ada sekelompok cewek yang lewat persis di bawah kaleng itu akan mendarat.

“Aaaw!”

Oops, kaleng itu mengenai kepala salah seorang cewek yang berjalan paling belakang. Ngumpet aja kali, ya? Pura-pura gak tau, gitu.

Aku melihat cewek itu memandang berkeliling mencari tersangka hingga pandangannya berhenti padaku. Aku bersiul sambil menggaruk tengkuk yang beberapa detik kemudian kusadari hal itu membuatnya semakin yakin bahwa aku yang melempar kaleng itulebih tepatnya menendang.

Dia berjalan ke arahku. Alamak! Aku harus ngapain nih? Akting sok playboy sambil ngomong: “Cewek, gue udah lama merhatiin elu. Makanya tadi pas lu lewat gue lempar pake kaleng kopi. Ntar sore nonton, mau kan?” Atau pasang tatapan paling tajam terus bilang: “Gue lagi nyari soulmate. Kata dukun, hari Selasa jam 9:30 gue harus lemparin sesuatu ke udara. Benda itulah yang akan bawa gue ke soulmate gue. So, here you are...”

Cewek itu sampai di depanku. Gawat nih! Mungkin aku bakalan dipukulin pake tasnya, ato buku tebal yang ditentengnya.

Plung! Dia melemparkan kaleng tadi ke tong sampahyang ternyata ada tepat di sampingku! Kemudian pergi menyusul teman-temannya tanpa sepatah kata pun. Apa-apaan tuh cewek?! Si charming ini malah dicuekin.

Rasanya aku pernah liat cewek itu. Tapi dimana, ya?

***

                Cahyo ngajak main futsal pulang kuliah. Karena aku gak bawa kendaraan hari ini, otomatis harus nungguin Cahyo di gerbang kampus. Agak molor juga tuh anak, gara-gara ngurusin makalah yang nilainya E sama dosen.

                Segerombol mahasiswi yang lewat menyita perhatianku yang waktu itu lagi update status tentang ‘menunggu Cahyo’. Mereka bergosip tentang banyak hal; salon, fashion, mall, bahkan hal sepele sampai aturan keramas dua hari sekali atau setiap hari. Aku sih keramas kalo abis mimpi bas-oops!

                Setelah gerombolan berisik itu lewat, muncul seorang cewek dengan rambut sebahu dan menenteng buku tebal di tangan kanannya. Gak salah lagi. Aku pernah ngeliat cewek ini di tempat lain. Tapi aku gak inget dimana. Mungkin otakku mesti di-upgrade, atau format dulu sekalian.

                Tanpa sadar naluri detektifku memerintah si kaki untuk mengikuti dia. Menyusuri pelataran luar kampus. Trotoar. Halte bus. Sebuah bus berhenti, dia memasuki kendaraan besar itu. Dan aku mengikutinya dari belakang.

                Di dalam bus, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia dapat tempat duduk di samping seorang ibu-ibu yang tengah tertidur pulas. Aku memilih menggantungkan tangan; berdiri, agar bisa melihat wajahnya.

                Drrrrrrtttt...drrrrrttt...

Eh, ponselku bergetar. Aku merogohnya dengan tangan kiriku dan segera menekan tombol telepon hijau ketika melihat layar dan rupanya Cahyo menelponku. “Halo?”

“Elu dimana?”

“Gue di bus.”

“Hah? Lu ngapain di situ? Bukannya lu bilang nungguin gue di gerbang kampus?”

“Anjrit! Kok gue bisa di sini?”

“Kok malah nanya gue?”

***


                “Kemarin gue kayak kerasukan setan, Yo.” Mungkin cewek-cewek kalo curhat kayak gini.

                Cahyo cuek sambil menyeruput teh botolnya.

                “Akhirnya gue pasrah turun di halte berikutnya.” Aku udah gak nafsu makan ngabisin ketoprak Bu Jamil. Curhat itu ngilangin nafsu makan. Mungkin cewek-cewek kalo curhat kayak gini, makanya mereka sering kelamaan nongkrong di kantin ato kafe.

                Cahyo nyengir sebentar kemudian menyeruput lagi teh botolnya.

                “Terus gue harus naik bis lagi buat muter balik ke tempat futsal.” Aku menyuapkan ketoprak ke mulut. Udah dibayar, sayang kalo gak dimakan.

                Cahyo menyeruput teh botol lagi.

                “Sial lu, Yo! Itu ‘kan teh botol gue!” Aku menyeret teh botol yang hampir habis dari tangannya. Baru kusadari, di meja ini cuma ada satu teh botol. Dan itu punyaku. Curhat itu bikin lupa sama benda-benda di sekitar kita.

                Aku menyeruput teh botolku yang hampir habis ketika dengan tiba-tiba tersedak karena melihat seseorang.

                “Kenapa? Teh botolnya asem? Sini gue bantu abisin!” Cahyo hampir merampok teh botol aku lagi kalo gak segera kugampar tangannya.

                Cewek itu! Cewek yang belakangan mengganggu jalannya otakku, membuatku kayak kerasukan setan. Sekarang dia duduk di depanku. Tidak benar-benar tepat di depanku sih, tapi di meja lain di kantin ini, dan kebetulan letak duduknya berhadapan denganku meski berjarak tiga meter.

                Tatapanku terpaku padanya. Dengan sigap Cahyo mengambil alih teh botolku dan segera menyeruputnya habis. Dia mengikuti arah pandangku karena penasaran.

                “Lu naksir dia?”

                “Manis ‘kan, Yo?”

                Cahyo mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namanya Diasta, mahasiswi arsitektur.”

Oh. Sekarang aku tahu namanya. Dia yang misterius. Dia yang selalu berjalan di belakang. Dia yang selalu ada di mana-mana. Dia yang baca komik rating M. Dia yang berhasil menawan hatiku. Dia Diasta.

Sepersekian detik kemudian dia memandang ke arahku. Tak dapat dicegah mata kami beradu. Aku terpaku di tempat.

Dia tersenyum.

*END*